Hari itu saya duluan pulang tanpa suami. Beliau masih ada tugas yang harus dikerjakan. Becak adalah pilihan terbaik untuk mengantar saya pulang ke rumah.
Saya menyetop becak yang lewat. Seperti biasa, sebelum naik saya memberi tahu tujuan dan bertanya tarif becak ke tempat tujuan saya. Kalau cocok, baru deal. Kalau tidak, cari becak yang lain.
“ke Marendal berapa , bang?”, tanya saya.
“ kalau biasanya ya bu, 15 ribu”, jawab si abang becak.
Tentu kaget saya mendengar angka tersebut. Pasalnya hampir kalau naik becak dari sini tarifnya kalau gak 25 ribu, ya 30ribu. Meski ujung-ujungnya saya rada keukeuh di 20ribu.
Maka saya pun bilang sama si abang becak,” 20 ribu ya bang”.
Teman saya yang mau nebeng ke supermarket depan pun heran.
**
Di perjalanan, tampak sekali si abang becak memperhatikan penumpangnya. Dalam hal pelayanan maksudnya. Setiap berjumpa lubang jalan, si abang dengan hati-hati melewatinya. Biar penumpang gak kaget.
Sampai pada lubang jalan ke sekian, di belakang ada sepeda motor yang hendak nyalip dari kiri. Pengendara sepeda motor sepertinya kesal karena becak berjalan pelan. Berulang kali dia membunyikan klakson. Si abang becak bukannya tidak mau ngasih jalan, tetapi kondisi jalan memang tidak memungkinkan.
Si pengendara motor menyalip sambil melirik kesal pada si abang becak. Celoteh saya, “sabar napa”.
Si abang becak malah komentar, “ gapapa, mbak. Cape dia, lelah pengen cepat-cepat sampai rumah”.
Saya terdiam dengan apa yang diucapkan si abang becak.
Sambil mengucap dalam hati, masya Alloh, sabar banget abang ini”.
Kami pun sampai tujuan. Abang becak itu pergi.
Saya lupa mencatat plat becak dan nomor hp abang itu. Ah, semoga ia mendapat kelimpahan rejeki yang halal baginya dan keluarga.